KITA YANG (dulu) BAHAGIA

Senja ini aku berdiri diatas bangunan kecil sempit nan kuno. Ingatanku merasuk jauh kebelakang sana. Kosong. Hampa.  Dan merana. Aku memejamkan mata menikmati semilir angin pantai menyapu rambut panjangku yang terurai bebas. Deburan ombak yang saling berkejaranpun membuatku enggan membukanya. Yah, jangankan beranjak dari tempat ini untuk membuka mata saja rasanya sangat sulit bagiku.
Tahukah engkau? Memoriku berhasil memainkan ulang ingatanku tentang kita yang dulu. Kita yang selalu punya waktu bersama sesibuk apapun itu. Kita yang selalu mendebatkan hal-hal kecil disekitar kita. Kita yang selalu punya cara untuk saling membuat tertawa segaring apapun itu dan kita yang hampir tak pernah kehabisan bahan pembicaraan disetiap perbincangan kita. Aku tak ingin munafik dengan perasaanku. Aku merasa semua itu telah berubah. Kamu bukan kamu yang kukenal dulu. Mungkin juga aku bukan kekasih yang kamu seperti dulu. Bisa dibilang, Kita bukan lagi menjadi kita. Entah aku yang berubah atau kamu yang berubah. Entah aku yang merubah atau pula kamu yang merubah. Sungguh, kumerindukan saat-saat kita yang dulu.
Anda engkau tahu, aku benar-benar merindukan pundakmu yang selalu ada disetiap derai air mataku. Aku merindukan mimik bosanmu yang selalu terlihat ketika aku mengulang-ulang cerita yang sama disuatu waktu dan aku merindukan pula suaramu yang selalu menjadi alasan mengapa aku dapat tersenyum dibalik tangisku.
Pernah aku berfikir, mungkinkah aku yang terlalu kekanak-kanakan menghadapi kesibukanmu sehingga semuanya menjadi tak terkendali. Tidak. Jangan salahkan aku. Bayangkan saja, jika memang aku kekanak-kanakkan dalam menghadapi setiap kesibukanmu tak mungkin kita dapat bertahan sejauh ini. Ok! Jika kamu bisa bilang kita dapat bertahan sejauh ini karena kamu yang selalu bersikap dewasa dalam menghadapiku, kemana saja kamu saat aku membutuhkanmu seperti sekarang ini? Bukankah sikap kedewasaanmu itu harusnya muncul disaat kita runyam seperti ini? Aku bisa saja berhenti merengek mengenai apa yang aku inginkan jika aku mendapat penjelasan darimu tentang segala kesibukanmu, bukan malah digertak seperti ini.
Kekasih model mana yang senang melihat orang yang dicintainya menjadi berubah seperti ini?
Kekasih model mana yang tak menangis jika melihat orang yang dulunya penuh kesabaran dalam menghadapinya berubah menjadi monster jahat yang bahkan tega menggertak dirinya?
Hei, aku kekasih yang normal. Aku masih ingin diperhatikan oleh orang yang aku cintai. Aku masih ingin menjadi alasanmu untuk buru-buru menyelesaikan tugas demi mengabariku. Sekali lagi, aku tak ingin munafik dengan perasaanku sendiri. Aku merasa tak nyaman dengan segala perubahanmu terhadapku. Tak jauh beda dari faktor-faktor pendorong terjadinya konflik sosial – perubahan yang cepat dan mendasar – aku takut semua ini akan menjadi api dalam hubungan kita. Aku tak ingin mendapati jika hubungan kita terbakar sia-sia akibat keegoisan dalam diri kita masing-masing. Percayalah, semua ini hanya masalah komunikasi. Kita mampu bertahan. Kita mampu menyelesaikan segalanya tanpa menoreh luka dihati satu sama lain. Kita, engkau dan aku itu ibarat ayah dan putri kecil kesayangannya. Ketika putri kecilnya itu merengek meminta sesuatu, hanya ada 3 kemungkinan yang akan dilakukanmu sebagai ayah. Pertama, kau langsung menuruti apa yang diminta buah hatimu. Kedua, jika kau merasa sesuatu itu belum begitu bermanfaat baginya, kau akan memberinya penjelasan agar memilikinya suatu saat nanti. Dan yang terakhir, kau langsung memaki buah hatimu itu karena menginginkan sesuatu yang menurutmu tak bermanfaat lalu pergi meninggalkannya dan membiarkan dia sadar dengan sendirinya tanpa tahu alasan makianmu tadi kepadanya.
Jadi, sekarang terserah dirimu saja. Kau ingin menjadi seorang ayah yang seperti apa dalam menghadapi aku sang ‘putri kecil kesayangan’mu itu.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer